Ini Novel paling banyak halamannya yang pernah saya baca sepanjang di
tahun 2015 sampai bulan Mei ini, novel pertama yang didalamnya bercerita
terkandung unsur sejarah dan politik, sebenarnya saya tidak begitu suka politik
karena alasan klasik yang mungkin rata-rata orang yang juga tidak begitu
tertarik dengan politik mempunyai alasan yang sama dan akan sependapat dengan
saya bahwasanya politik akan berteori tidak ada teman yang abadi dan tidak ada
pula lawan yang abadi, semua tergantung kepentingan, dari jaman dulu sampai
jaman apa namanya sekarang ini, sebut saja jaman reformasi yang “katanya”
sebagian besar orang jaman perubahan (perubahan dalam pemahaman saya bisa
penurunan dan bisa peningkatan intinya berubah)
Seperti yang sudah-sudah untuk
memulai membaca sebuah novel, saya sebelumnya akan searching 2 atau 3 referensi
pendapat orang-orang yang sudah membacanya, tapi tidak dengan buku ini, dengan
judul “Pulang” sudah cukup menggambarkan dibenak saya, cerita kisah tentang perjalanan
seseorang yang sedang merantau kemudian kekampung halaman, dan andaikata saat
itu saya membaca review orang-orang dan kebetulan mereka menuliskannya dari sisi
politik, “mungkin” akan mengurungkan niat untuk membacanya sampai selesai.
Cerita di bab awal, saat dimas
suryo diutus untuk mengikut suatu pertemuan di eropa dan peking, yang
seharusnya saat itu yang berangkat adalah Hananto, karena satu dan lain hal
urusan pribadi yang harus di selesaikan, maka yang diutus berangkat adalah
Dimas. Berliku permasalahan yang mereka hadapi selama disana sampai-sampai
passpor mereka dicabut artinya tidak bisa di terima untuk masuk ke Indonesia, hal
ini terjadi juga dengan sahabat-sahabat yang lainnya yakni Nugroho, Tjai dan
Risjaf. Bermacam-macam pekerjaan agar bisa bertahan hidup di negeri orang
termasuk mendirikan restoran Indonesia dimana Dimas yang memang jago masak
sebagai kepala kokinya. Dimas yang akhirnya menikah dengan warga sana bernama
Vivienne, perkenalan antara Vivienne dan Dimas semacam le coup de foudre yang artinya cinta pada pandangan pertama, saat
demo mahasiswa di Paris, jangan bayangkan demonya ada adegan bakar-bakar dan
anarkis, mereka melakukan demo secara anggun yang intinya suara mereka didengar
kepada pihak yang didemo, isi dialog antara Vivienne si mata hijau dengan Dimas
dilanjutkan kisah percintaan mereka yang salah satu adegannya mulutnya ditutup
mulutku kata Dimas, tapi menurut saya bagian kalimat ini sebagai pemanis agar
pembaca penasaran untuk lanjut ke halaman-halaman berikutnya.
Menjadi tapol (tahanan politik),
inilah pertanyaan sampai sekarang yang saya belum mengerti, tadinya saya
berfikir jawabannya ada di akhir-akhir cerita buku ini, namun sampai selesai di
halaman 449 yang merupakan halaman terakhir saya pun belum menemukan
jawabannya, apa ada yang tersirat ya di bacaan sebelumnya, sayapun masih kurang
paham, yang jelas mereka bekerja di kantor berita nasional dianggap sebagai
anggota geng komunis yang menurut di tulisan ini mereka sering secara lantang
menyeruakan pendapat politiknya yang berseberangan dengan pemerintahaan saat
itu, jujur agak bias bagi saya sebagai pembaca karena tidak ada adegan yang
menyatakan seperti apa misalnya aksi suara lantang mereka. Kenapa Mba Leila ng
sekalian menuliskan dengan cara tersurat ataupun terselip di dalam tulisannya
ini.
Hananto yang menghilang sekian
lama, keluarga yang hari-harinya dipenuh dengan pengawasan, dianggap sebagai
warga yang menyusahkan, black list para keturunannya untuk menjadi anggota
TNI/Polri maupun bekerja di kantor pemerintahan, apalah salah keturunannya
dimana mereka yang tidak berdosa dan belum terlahir dimasa itu. Sampai kapan
kita akan men-judge seseorang tentang masa lalu keturunannya yang ceritanya pun
masih diragukan kebenarannya.
Pemeran-pemeran korban 30
September 1965, seperti di sejarah yang saya baca di sekolahan seperti Ahmad
Yani, Ade Irma Nasution tidak banyak diceritakan disini, lebih banyak tentang
kesengsaraan keluarga korban, bagaimana bertahan hidup di negeri orang, mereka dan keluarga dikucilkan di masyarakat,
sampai-sampai keturunan yang terlahir tidak cukup kuat menerima sampai-sampai harus malu
mengakui siapa darah kandung sebenarnya.
Cerita-cerita akhir saat Lintang
yang sudah beranjak dewasa, kuliah di Universitas Sorbonne Paris, anak dari
Dimas dan Vivienne, mendapatkan tugas dari dosen sebagai tugas akhir untuk
pembuatan film dokumenter politik di Indonesia dengan mewawancarai narasumber
berupa mantan tahanan politik dan para keluarganya, sehingga membuat Lintang
harus datang ke Indonesia selama beberapa bulan, disinilah alur sisi cerita
remaja pertemuan antara 2 anak muda yang terpisah jarak dan waktu. Alam (anak
bungsu dari Hananto, sahabat Dimas yang dulu sama sama bekerja di kantor berita)
yang mendapatkan peran untuk mendampingi Lintang menyelesaikan tugasnya ini. Fungsinya
agar Lintang mendapatkan jalur agar lebih mudah bisa wawancara dengan
narasumber, yang menjadi bumbu dalam alur cerita bagian ini adegan seks education yang tertuang dalam
cerita, termasuk gaya mereka saling memadu
kasih.
Lintang yang sebelumnya sudah
memiliki kekasih di Paris bernama Nara yang juga memiliki darah keturunan
Indonesia dari Ibunya, Nara tidak bosan-bosannya menghubungi Lintang selama di
Indonesia. Mungkin ini feeling laki-laki saat sang kekasih hati jauh dari
pelupuk mata sementara hatinya sudah tak sepenuhnya menjadi miliknya. Sampai akhir
cerita cinta segitiga ini tidak ada ujungnya, kalau saya pribadi ditanya, lebih
setuju Lintang berpasangan dengan Nara yang nyaris tak ada sisi negatifnya,
Nara terlalu baik untuk tersakiti.
Diparagragraf-paragraf akhir,
bagaimana akhirnya Dimas bisa pulang dalam kondisi yang sudah tidak bernyawa
lagi dan sesuai permintaannya agar dia bisa dikebumikan di daerah Karet.
Dari sisi penulisan
Alur maju mundur maju mundur (ng
pakai cantik ala syahrini) cukup membuat berfikir dan kembali kehalaman halaman
berikutnya, entah lagi-lagi karena alasan sejarah, bahwasanya penulis berpesan
untuk berhenti sejenak, jangan lupa dengan sejarah untuk senantiasa melihat
kembali kebelakang dan tidak untuk dilupakan (hahaha ini pendapat saya yang
mungkin ng ada hubungannya).
Emosi yang di munculkan yang
membuat mudah membayangkan dan serasa larut merasakan apa yang terjadi. Saya besar
dan mengenal sejarah saat jaman order baru bertanya, apakah buku-buku sejarah
yang saya baca dan pelajari sebelumnya adalah sepenuhnya benar, ataukah sebegitu
berkuasanya sampai-sampai membuat sejarah yang bisa di ukir? Entahlah itu sudah
berlalu, mendapatkan nilai 8 dalam setiap mata pelajaran sejarah di sekolah
dulu sudah cukup mengantarkan saya untuk ke jenjang sekolah berikutnya, yang
saat itu merupakan suatu persyaratan kelulusan.
Review ini mengandung dan
mengundang banyak pertanyaan, beruntungnya di awal Juni tahun 2015 ini, penulisnya
akan hadir di acara Makassar International Writers Festival (MIWF) dan semoga
tak ada halangan bertemu dengan Mba Leila, ada waktu luang di luar rundown
acara untuk bisa berdiskusi lebih lanjut cerita di buku “Pulang”, sambil santap
ikan bakar, appetizernya pisang ijo dan lanjut minum sarabba yang semuanya
makanan khas Makassar, semacam menu perpaduan cinta segitiga Lintang, Alam dan
Nara.
Well, overall setelah selesai
menyelesaikan buku ini di sela sela jam istirahat kantor dan weekend, kurang
lebih waktu seminggu untuk melahapnya, penilaian saya memberi angka 8 dari 10
(sama seperti nilai sejarah saya di sekolahan, ini kebetulan :D )
Halaman kosongnya menunggu tanda tangan penulisnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar