Jumat, 18 Desember 2015

Menatap Pantai Hingga Peninggalan Sejarah Kota Daeng

Subuh yang hampir saja selesai, matahari pun sedang bersiap memancarkan sinarnya yang akan menyapa selamat pagi kepada dunia, begitu halnya yang terjadi sekitar dermaga kayu bangkoa, sebuah dermaga yang berada diantara deretan ruko yang menjadi pusat jajan oleh-oleh khas Makassar. Para pemilik kapal kecil yang dalam bahasa Makassar di sebut "ketinting", kapal kecil yang hanya memuat maksimal 10 orang, saya satu-satunya dalam rombongan yang menetap di Makassar bersama 6 orang teman saya yang datang dari Jakarta pun tak ragu untuk masuk kedalam dermaga, kehadiran kami di sambut pemilik kapal yang menyapa menawarkan jasa, "mauki kemana ade' ?" dengan logat khas Makassar, kalau tebakan saya bapak yang menyapa kami ini berumur sekitar 45 tahun, teman saya Sinta langsung mengalihkan pandangan ke arah saya, seolah matanya memberi kode untuk meminta saya melakukan transaksi dengan sang pemilik kapal, tanpa berpikir lama saya pun kembali bertanya "Daeng, berapa sewa kapal ke Kodingareng Keke ?, "Iye 400 ribu biasanyami" lanjutnya, karena saya sudah paham standar harga, saya pun melakukan tawar menawar dan kami setuju di harga 300 Ribu, dengan tambahan destinasi satu pulau lagi yakni mengunjungi Pulau Samalona. Tanpa membuang-buang waktu, kami bertujuh pun menaiki ketinting plus bapak nahkoda kapal dan satu asistennya yang bertugas untuk menarik tali dan jangkar.

Kami tidak langsung ke pulau Kodingareng keke sesuai dengan perjanjian awal dengan pemilik kapal, tapi ke pulau Kayangan yang berjarak hanya sekitar 300 Meter dari dermaga, rupanya pulau ini adalah tempat mengambil alat snorkling yang akan kami gunakan, asisten yang berlari ke arah rumah penduduk dan hanya hitungan lima menit sudah kembali sambil berlari kecil, ditangannya sudah ada pelampung, mask snorkel dan fins. Deburan ombak dan burung burung yang sedang bersautan melengkapi perjalan kami di tambah percikan air yang sesekali masuk ke kapal.

Semakin mendekati pulau Kodingareng keke semakin jelas terlihat pepohonan hijau menjadi pusat perhatian kami berdiri dengan kokohnya, di lengkapi gradasi birunya laut sejauh mata memandang, pulau ini tidak berpenghuni, takjub yang luar biasa begitu turun dari kapal dengan hamparan biru yang menarik garis lurus, menahan nafsu untuk segera mengintip isi dalamnya. Sebelum semuanya berhamburan di birunya laut, kita sudah bersepakat untuk mendirikan tenda terlebih dahulu, menyimpan barang barang dan amunisi makanan ringan.

Menikmati bawah lautnya dengan terumbu karang dan ikan yang sesekali melintas menjadikan kami betah berlama lama tengkurap dengan pelampung sebagai penahan, tak perduli dengan cuaca terik yang menyinari tubuh

Pakaian yang melekat di tubuh sudah basah, kami pun secara bergiliran menggantinya dengan baju kering, karena tenda yang berdiri hanya ada satu jadilah kita bersepakat yang mendapatkan giliran terlebih dahulu adalah berdasarkan urutan bulan lahir, berhubung saya yang lahirnya di awal tahun sehingga mendapatkan giliran pertama kali. Siang sudah hampir berlalu, waktunya mengisi perut yang sebelumnya hanya makan roti keju dan biskuit coklat.

Rute selanjutnya di pulau Samalona, disini kita akan menikmati segarnya aneka macam ikan yang baru di tangkap oleh nelayan untuk di hidangkan, kalau orang makassar menyebutnya Ikang Bakar , jangan heran kalau ke Makassar, pengucapan beberapa kata selalu kelebihan "G" selain kata ikan yang di tambahkan diakhir, ada juga makang (asal kata dari makan), jangang (dari kata jangan), saya pun tak tahu penjelasannya kenapa ini terjadi, tapi kami yang orang Makassar akan bisa menebak maksud dari perkataan dengan tambahan "G" di belakang kata.
Sistem berjualan mereka di pulau Samalona untuk biaya makan siang kali ini di hitung perorang, nasi dan ikan beserta sambal yang menjadi ciri khas, sehingga kami sudah terima beres, bisa juga dengan cara membawa ikan sendiri untuk di bakar oleh pemilik warung, biaya tambahan lainnya yakni sewa gasebo, kami menyebutnya bale-bale, karena pemilik gasebo ini berbeda dengan pemilik warung.
 

Kami sengaja mengabiskan waktu sambil mengitari pulau, beberapa sedang memejamkan mata tertidur sejenak, dan ada pula hanya duduk menikmati angin sambil membaca buku.

Pulau ini merupakan salah satu tempat terbaik menunggu senja, berdasarkan kesepakatan bersama kami akan melihat gradasi kuning dan matahari yang sebentar lagi bersembunyi, sebelum akhirnya kami kembali ke kota, dan beruntung saat senja datang matahari bersinar dengan bulatan penuh tanpa tertutup awan.









Napak Tilas Sejarahnya
Hari kedua acara reuni sebelum sorenya mengantarkan teman teman saya ke bandara, kami bertujuh dengan formasi sama dengan kemarin menunjungi salah satu peninggalan bersejarah bangunan desain Eropa, namanya pun salah satu kota di Belanda yakni Rotterdam, benteng ini selalu ramai di hari libur dan lokasinya yang berada di tengah kota.

Pintu gerbang yang berbentuk setengah bujur sangkar yang sedikit melengkung di masing-masing ujung bagian atas adalah satu satunya jalur masuk untuk dapat menikmati bangunan-bangunan bersejarah, tidak ada tarif  masuk yang di tetapkan oleh pemerintah, hanya seikhlas para pengunjung.
Total luas benteng ini sekitar hampir 3 Hektar dengan 16 buah bangunan yang di setiap bangunannya terdapat huruf alphabet dari A sampai P sebagai tanda urut, bangunan ini tetap berdiri kokoh seolah memberi isyarat agar kelestarian tetap dijaga oleh generasi berikutnya




Langkah kami sempat terhenti saat bertemu sekelompok anak muda berbaju seragam berbahan kaos sedang bernyanyi diatas benteng di temani sebuah gitar, lagu pakkarena yang mereka dendangkan dengan pembagian suara satu dan dua sangat merdu terdengar di telinga, lagu ini membawa saya sejenak mengingat masa duduk di bangku Sekolah Dasar saat menyanyikan lagu ini diacara penyambutan tamu dari ibukota di rumah jabatan Bupati, terakhir lagu pakkarena saya dengar saat acara pernikahan adat tetangga sebelah rumah setahun yang lalu. Walaupun tidak mengerti arti dari lagunya, teman teman saya ini turut serta menikmati nada dengan pembagian suara yang pas, saya menduga sekelompok anak muda ini berasal sanggar seni kampus.


Sejarah itu sederhana tak perlu di buat rumit, tugas kita hanya melanjutkan tugas menjadikan daerah yang lebih baik.

Jika masih berpikir citra seramnya Makassar seperti yang ada di berita televisi,tentu tidak semuanya benar, yang pasti kota kami menawarkan keindahan alam dan warisan budaya yang membuat siapa pun ingin selalu kembali.

3 komentar:

  1. makang ikang pating = makan ikan patin. begitu ya? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo makang ikang fauzi gimana kak?

      Hapus
    2. @Mba Vira, hahahah boleh boleh, tapi ikang pating kurang ngehits Mba, yang sering bertengger favorit di menu menu --> ikang cakalang ama ikang baronang
      @Mas Ariev, Makang ikang fauzi :D :D

      Hapus